Rabu, 30 November 2016

Makalah Ukuran-Ukuran Epidemiologi




UKURAN-UKURAN EPIDEMIOLOGI

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Dasar-Dasar Epidemiologi




Disusun Oleh :
Kelompok 7, Kelas A
Sita Putri Naditya                                        G1B014052
Siti Istikomah Isnaeni                                    I1A015043
Dhita Rachmawati                                        I1A015069
Linda Rossita Wanti                                     I1A015073
Aditya Pratama R.                                       I1A015090






KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Epidemiologi secara komprehensif merupakan ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan-determinan frekuensi penyakit dan status kesehatan pada populasi manusia. Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa epidemiologi pada dasarnya adalah ilmu empirik kuantitatif, yang banyak melibatkan pengamatan dan pengukuran yang sistematik tentang frekuensi penyakit dan sejumlah faktor-faktor yang dipelajari berhubungan dengan penyakit. Kebutuhan akan analisis kuantitatif, mulai dari perhitungan yang paling sederhana hingga analisis yang paling canggih, menyebabkan epidemiologi berhubungan erat dengan sebuah ilmu yang disebut biostatistik (Murti, 2013).
Salah satu unsur pokok penting dalam epidemiologi adalah pengukuran kejadian penyakit. Terdapat beberapa ukuran yang dipakai dalam mengukur kejadian penyakit dan ukuran yang dipakai tergantung tujuan dari pengukuran. Pengukuran kejadian penyakit dapat dilakukan dari hasil penemuan masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Secara umum, tujuan pengukuran kejadian penyakit digunakan untuk menilai keadaan kesehatan, mengetahui potensi-potensi untuk menanggulangi masalah kesehatan, dan mendeteksi kelompok mana yang berisiko terkena penyakit. Hal yang perlu dipertimbangkan  dalam pengukuran kejadian penyakit antara lain: ketepatan pengukuran, sensitivitas, spesivitas, dan isu etika (Hasmi, 2011).
B.     Tujuan:
1.      Mengetahui ukuran dasar epidemiologi
2.      Mengetahui ukuran frekuensi epidemiologi
3.      Mengetahui ukuran kekuatan hubungan

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ukuran Dasar Epidemiologi
      Data kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan kementerian kesehatan secara khusus untuk menyusun setiap program kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan. Berbagai indikator kesehatan yang dipakai untuk mengevaluasi program kesehatan antara lain rate, rasio, dan proporsi (Djaja, 2012).
1.      Rate
Nilai rate dalam epidemiologi menunjukkan besarnya peristiwa yang terjadi terhadap jumlah keseluruhan penduduk dan peristiwa tersebut berlangsung dalam suatu batas waktu tertentu. Ada tiga unsur utama dalam penentuan nilai rate, yaitu: jumlah mereka yang terkena peristiwa, kelompok penduduk tempat peristiwa tersebut terjadi, dan batas waktu tertentu yang berkaitan dengan kejadian tersebut (Noor, 2008).
Rate merupakan konsep yang lebih komplek dibandingkan dengan dua bentuk pecahan. Rate yang sesungguhnya merupakan kemampuan berubah suatu kuantitas lain. Kuantitas lain yang digunakan sebagai patokan ini biasanya adalah kuantitas waktu. Bentuk ukuran ini sering dicampur adukkan dengan proporsi (Saepudin, 2011).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Rate (Rr) adalah angka yang menyatakan hubungan (relasio). Jumlah berapa kali (frekuensi) suatu kejadian (penyakit) tertentu itu terjadi di antara sejumlah orang yang mempunyai peluang terekpos dalam suatu waktu tertentu.
Rr =
Perbandingan suatu peristiwa dengan populasi yang mempunyai risiko berkaitan dengan peristiwa dimaksud. Hal-hal yang termasuk dalam kelompok rate adalah sebagai berikut:
a.       Insidens
b.      Prevalens
c.       Attack Rate (AR)
d.      Case Fatality Rate (CFR)
e.       Crude Birth Rate (CBR)
f.       Crude Death Rate (CDR)
g.      Infant Mortality Rate (IMR)
h.      Maternal Mortality Rate (MMR)
2.      Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan yang mengukur kemungkinan terjadinya peristiwa tertentu, dimana membandingkan suatu peristiwa dibagi dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena peristiwa yang dimaksud dalam waktu yang sama yang dinyatakan dalam persen atau permil (Hasmi, 2011).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Proporsi (P) adalah jumlah orang (dengan sifat kualitatif tertentu) dibandingkan dengan sejumlah populasi seluruhnya.
P=
Keterangan:
a.       X merupakan bagian dari Y, di mana Y= 100%
b.       merupakan bagian dari 100%
c.       sering dinyatakan dalam persentase (%)
Contoh: pada suatu kejadian luar biasa keracunan makanan terdapat 32 orang penderita dan 12 diantaranya adalah anak-anak maka proporsi anak terhadap orang dewasa adalah  = 0,375
3.      Rasio
Rasio merupakan tipe ukuran lainnya yang secara spesifik harus mencakup konsep waktu di dalam ukuran. Rasio menggambarkan jumlah kasus yang terjadi dibagi dengan populasi berisiko (Magnus, 2007).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Rasio (R) adalah jumlah orang (dengan sifat kualitatif tertentu) dibandingkan dengan sejumlah orang lain (dengan sifat kualitatif lain pula).
R=
Keterangan:
a.       X tidak mempunyai keterkaitan dengan Y
b.       harus merupakan bilangan yang lebih kecil atau sama dengan satu
c.        tidak dinyatakan dalam prosentasi, melainkan sebagai suatu pecahan di mana y harus lebih besar daripada x (suatu angka pecahan) atau sama.
Contoh: pada suatu kejadian luar biasa keracunan makanan terdapat 32 orang penderita dan 12 diantaranya adalah anak-anak maka rasio anak terhadap orang dewasa adalah   = 0,6
Perbandingan pengertian Rasio, Proporsi dan Rate menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbandingan Pengertian Rasio, Proporsi dan Rate
Rasio = R
Proporsi = P
Rate = Rr
R=

P=

Rr=

X tidak mempunyai keterkaitan dengan Y
X merupakan bagian dari Y.
Y= 100%
X mempunyai keterkaitan secara tidak langsung dengan Y
Y= 100% (total populasi)
X harus merupakan Y, perbandingan ≤ 1
 = ≤ 1 atau ≤ 100%

 = ≤ 100%

Tidak dinyatakan dalam persentase
Bisa/ boleh dinyatakan dalam persentase
Dinyatakan dalam persentase, permil, atau per 100 ribu populasi

B.     Ukuran Frekuensi Epidemiologi
1.      Insidensi
Insidensi adalah kejadian atau kasus penyakit yang baru saja memasuki fase klinik dalam riwayat alamiah penyakit. Ukuran frekuensi insidensi penyakit dapat dibedakan menjadi insidensi kumulatif dan laju insidensi (Murti, 2013).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Insidens (Incidence Rate) adalah indicator yang paling banyak digunakan di dalam epidemiologi bila dikaitkan dengan penderita baru dalam kurun waktu tertentu. Insidens dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:

IR=

Angka insidens dapat digunakan untuk penyakit akut menular berjangka pendek. Di samping untuk memantau penyakit akut, dapat juga untuk penyakit-penyakit kronis berjangka panjang.
a.       Insidensi kumulatif (cumulative incidence)
Menurut Rajab (2009) Cumulative Incidence (CI) adalah probabilitas dari seseorang yang tidak sakit selama periode waktu tertentu, dengan syarat orang tersebut tidak mati oleh karena penyebab lain. Risiko ini biasanya digunakan untuk mengukur serangan penyakit yang pertama pada orang sehat tersebut.

CI =

Baik pembilang maupun penyebut dalam perhitungan ini adalah individu yang tidak sakit pada permulaan periode pengamatan, sehingga mempunyai risiko untuk terserang. Ciri dari cumulative incidence ini adalah:
1)      Berbentuk proporsi
2)      Tidak memiliki satuan
3)      Besarnya berkisar antara 0 dan 1
4)      Lamanya periode pengamatan harus selalu diikutsertakan
Menurut Murti (2013) kegunaan insidensi kumulatif adalah:
1)      Sebagai ukuran alternative laju insidensi (ID) dalam mempelajari etiologi penyakit,
2)      Mengetahui risiko populasi untuk mengalami prognosis (akibat lanjut penyakit),
3)      Mengetahui kelompok-kelompok dalam populasi yang memerlukan intervensi kesehatan.
b.      Densitas insidens (Incidence Density)
Incidence density adalah jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu (umumnya satu tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut pada pertengahan jangka waktu yang bersangkutan dalam persen atau permil (Saepudin, 2011).
Menurut Lapau (2009) yang diukur incidence density adalah jumlah individu yang bergerak dari bebas penyakit menjadi status penyakit selama periode waktu tertentu, sebagai hasil dari 3 faktor:
1)      Besar populasi
2)      Lama periode waktu (waktu mempengaruhi kejadian penyakit)
3)      Kekuatan yang menyebabkan penyakit
Menurut Rajab (2009) Incidence Density (ID) adalah potensi perubahan status penyakit per satuan waktu relative terhadap besarnya populasi individu yang sehat pada waktu itu.
ID=
Jumlah orang-waktu merupakan jumlah dari waktu saat individu masih belum terserang penyakit.
2.      Prevalens
Noor (2008) menyatakan bahwa Prevalens merupakan angka kejadian penyakit pada populasi tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Perbedaannya adalah pada pembilangnya yang meliputi jumah semua orang yang baru sakit dan juga orang telah sakit sebelum masa jeda tersebut dan masih sakit (kasus lama). Perbedaan yang lain pada penyebutnya meliputi seluruh populasi tempat kejadian/ penyakit tetapi tidak hanya terbatas pada mereka yang terancam.
Budiarto dan Anggraeni (2003) menyatakan bahwa terdapat dua ukuran dalam prevalens, yaitu point of prevence (prevalens sesaat) dan periode prevalence (prevalens periode). Magnus (2007) menyatakan Denominator pada kedua prevalens tersebut adalah jumlah orang di dalam populasi selama periode waktu yang sama.
a.       Point of prevalence
Point of prevalence adalah jumlah penderita lama dan baru pada suatu saat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat itu dalam persen atau permil (Saepudin, 2011).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Pada point of prevalence, denominatornya adalah jumlah penduduk total yang diperiksa/diteliti saat itu, dengan rumus sebagai berikut:
Point of Prevalens =
b.      Periode of prevalence
Prevalensi periode merupakan perpaduan prevalensi titik dan insidensi. Prevalensi periode adalah probabilitas individu dari populasi untuk terkena penyakit pada saat dimulainya pengamatan, atau selama jangka waktu pengamatan (Murti, 2013).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Pada period prevalence, denominatornya adalah seluruh penduduk selama kurun waktu tertentu, dengan rumus sebagai berikut:
PP=

Menurut Budiarto dan Anggraeni (2003) ukuran prevalensi suatu penyakit dapat digunakan untuk:
1)      Menggambarkan tingkat keberhasilan program pemberantasan penyakit
2)      Penyusun perencanaan pelayanan kesehatan, misalnya penyediaan sarana obat-obatan, tenaga, dan ruangan
3)      Menyatakan banyaknya kasus yang dapat didiagnosis
Salah satu karakteristik prevalens dan insidens adalah hubungan mereka dapat dikuantifikasi dan intuitif (Magnus, 2007). Menurut Budiarto dan Anggraeni (2003) angka prevalensi dipengaruhi tingginya insidensi dan lamanya sakit. Lamanya sakit adalah periode mulai didiagnosanya penyakit sampai berakhirnya penyakit tersebut yaitu sembuh, mati, kronis. Hubungan antara prevalensi, insidensi, dan lamanya sakit dapat dinyatakan dengan rumus:
P = I x D
Keterangan:
P = prevalensi
I = insidensi
D = lamanya sakit
Tabel 2.2 Perbedaan Insidens dan Prevalens
Insidens
Prevalens
Hanya menghitung kasus baru
Menghitung kasus yang ada (baru dan lama)
Tingkat tidak tergantung durasi rata-rata penyakit
Tergantung pada rata-rata lama (durasi) sakit
Dapat diukur sebagai rate atau proporsi
Selalu diukur sebagai proporsi
Merefleksikan kemungkinan menjadi penyakit sepanjang waktu
Merefleksikan kemungkinan terjadi penyakit pada satu waktu tertentu
Sering digunakan bila melakukan studi etiologi penyakit
Sering digunakan bila melakukan studi utilisasi pelayanan kesehatan

3.      Attack Rate
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Attack rate analog dengan Point of Prevalens Rate. Bila point of prevalens rate digunakan pada penyakit-penyakit yang berlangsung tidak akut (lama), maka Attack rate justru digunakan pada kejadian akut, yaitu pada letupan atau kejadian luar biasa (KLB).
Rumus Attack Rate dapat dinyatakan sebagai berikut:
Attack Rate =
4.      Mortalitas
Bustan (2006) menyatakan bahwa angka kematian adalah suatu ukuran frekuensi terjadinya kematian dalam suatu populasi tertentu selama suatu waktu tertentu. Angka mortalitas sering digunakan sebagai salah satu indikator dari tingkat keparahan dan kesakitan (Smink, 2012). Status derajat kesehatan masyarakat dapat tercermin dari angka kematian, kesakitan, dan status gizi. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi (Tazkiah dkk, 2013).
Menurut Noor (2008) Beberapa angka kematian yang sering digunakan adalah:
Tabel 2.3 Angka Kematian
Angka kematian
Pembilang
Penyebut
Angka kematian umum (CDR)
Jumlah seluruh kematian dalam setahun
Jumlah penduduk pertengahan tahun
Angka kematian bayi (AKB/IMR)
Jumlah kematian bayi (umur<1 tahun) dalam 1 tahun
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
Angka kematian neonatal (NMR)
Jumlah kematian neonatal (umur<29 hari) dalam 1 tahun
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
Angka kematian
Pembilang
Penyebut
Angka kematian perinatal (PMR)
Jumlah kematian perinatal (janin dalam kandungan usia 28 minggu sampai bayi usia 1 minggu) dalam 1 tahun
Jumlah seluruh kelahiran pada tahun yang sama
Angka kematian ibu (AKI/MMR)
Jumlah kematian ibu karena proses reproduksi dalam 1 tahun
Jumlah kelahiran hidup tahun yang sama
Angka kematian sebab khusus (SCDR)
Jumlah kematian karena satu sebab tertentu dalam satu tahun
Jumlah penduduk pertengahan tahun
Angka kematian pada penyakit tertentu (CFR)
Jumlah kematian karena penyakit tertentu
Jumlah penderita penyakit tersebut pada periode yang sama

C.     Ukuran Kekuatan Hubungan
1.      Relative risk
Salah satu kegunaan epidemiologi adalah mencari penyebab kejadian yang berkaitan dengan kesehatan suatu populasi. Hubungan sebab akibat tidak hanya membutuhkan adanya hubungan statistik, namun mempunyai beberapa persyaratan yang salah satunya adalah bukti tentang keeratan hubungan antara faktor yang dicurigai sebagai akibat faktor tersebut. Keeratan ini tercermin dari besarnya incidence (risiko) orang-orang yang terpapar dengan faktor itu dibandingkan dengan incidence di kalangan orang yang tidak terpapar (Saepudin, 2011).
Relative Risk (RR) sesungguhnya adalah rumus asosiasi antara atribut/ karakteristik kelompok (atau populasi) dengan penyakit tertentu. Relative Risk adalah rasio angka insidensi penyakit karena pajanan dibandingkan dengan angka insidensi penyakit yang sama tanpa pajanan, dengan rumus sebagai berikut:
Relative Risk=
Relative risk digunakan hanya sebagai pengukur peluang (probabilitas). Dengan probabilitas ini dapat dipertanyakan berapa probabilitas sebagian kelompok menjadi sakit kalau mereka terpajan dan berapa probabilitas yang tidak kena sakit kalau tidak terpajan (Ryadi dan Wijayanti, 2014).
Contoh soal Relative Risk dalam Ryadi dan Wijayanti (2014):
Suatu bahan cat tertentu bila digunakan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kanker kulit. Untuk mewaspadai sifat karsinogenik kini diadakan studi Kohort. Pada penelitian diambil sampel 1.000 pegawai di perusahaan cat tersebut yang sehari-harinya mengalami kontak langsung terhadap bahan yang dicurigai sebagai kelompok terpapar. Sebagai kelompok control adalah mereka yang dianggap tidak terpapar, diambil 2.000 pegawai perusahaan (yang sehari-harinya tidak mengalami kontak dnegan bahan cat tersebut). Dari kelompok terpapar ternyata 100 di antaranya setelah 10 tahun mengalami kanker kulit. Sebaliknya dalam jangka waktu yang sama pada kelompok tidak terpapar hanya terdapat 25 orang yang mengalami tanda-tanda kanker kulit.
Tabel 2.4 Pengaruh bahan zat X terhadap kanker kulit
Kanker Kulit
Eksposur (Bahan X)
Total
(+)
(-)
(+)
100
25
125
(-)
900
1.975
2.875
Total
1.000
2.000
3.000

a.       Kelompok terpapar =  = 0,1
b.      Kelompok tidak terpapar =  = 0,0125
c.       RR=  = 8 kali
d.      Hal ini berarti bahwa mereka yang mengalami kontak langsung dengan bahan cat tersebut cenderung memiliki peluang 8 kali lebih besar untuk mendapatkan kanker kulit daripada yang tidak mengalami kontak
2.      Odds ratio
Odds ratio adalah ukuran yang digunakan untuk menjelaskan asosiasi yang didapatkan dalam penelitian kasus-kontrol. Ukuran ini menggunakan table 2x2 dengan notasi yang sama untuk menjelaskannya (Magnus, 2007).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Dalam penelitian case-control study, apabila tidak terdapat data insidensi, melainkan data prevalensi, maka rumus RR yang digunakan adalah rumus RR yang disebut Odds Ratio (OR) sebagai nama sesungguhnya pada case control study.

OR=
Contoh soal Odds Ratio:
Di suatu RW terjadi wabah demam berdarah yang ditandai dengan panas tinggi 3-5 hari. Diduga kuat bahwa penyebab DHF ini dimungkinkan karena adanya container di rumah-rumah penduduk yang tidak higienis. Peristiwa ini baru satu bulan kemudian sempat dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Tingkat II. Untuk ini Dinas Kesehatan mengadakan penelitian dengan mengambil sampel di lapangan. Dari 240 soma yang anggotanya pernah menderita panas ternyata 200 soma yang memiliki container yang berserakan. Sebaliknya pada 220 soma yang tidak mengalami keluhan pada anggota keluarganya ternyata hanya 20 soma yang memiliki container yang tidak dikuras.
Tabel 2.5 Hubungan Kontainer dan Timbulnya DHF
Pemilikan Kontainer dalam Soma
Penyakit DHF (keluhan panas 3-5 hari)
Total
(+)
(-)
(+)
200
20
220
(-)
40
200
240
Total
240
220
460
Rasio (angka) DHF pada kelompok:
a.       Terekspos =
b.      Non terekspos =
c.       Rasio ODDS =  = 50 kali
d.      Dengan diketemukan ODDS 50 kali berarti bahwa rumah tangga (soma) yang memelihara container mempunyai kesempatan 50 kali untuk dijangkiti DHF pada anggota keluarganya
3.      Ukuran dampak potensial
a.       Attribute fraction (exposed)
Bila suatu faktor menjadi penyebab penyakit, pasti ada penderita yang dapat dihindarkan bila faktor tersebut dihilangkan dari populasi. Proporsi penderita yang dapat dihilangkan adalah sebesar (incidence yang terpapar-incidence tak terpapar) atau attribute risk dibagi incidence terpapar, atau dapat dituliskan:

Attribute fraction exposed =

Ukuran ini sangat berguna dalam menentukan prioritas masalah dalam program kesehatan masyarakat, maka faktor attribute fraction yang besar yang mendapat prioritas lebih tinggi dalam penanggulangan (Saepudin, 2011).
b.      Population attribute risk
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Population attribute risk merupakan attribute risk keseluruhan penduduk dalam daerah penelitian yang terekspos. Besarnya Population attribute risk (P.AR) sama dengan attribute risk dikalikan dengan proporsi kasus mereka terekspos terhadap total kasus (baik terekspos maupun non-terekspos), yang kemudian hasilnya dibagi oleh insidens total penderita-tahun.

P.AR =
Contoh soal Attribute Fraction dan Population Attribute Risk dalam Ryadi dan Wijayanti (2014):
Tabel 2.6 Hubungan merokok dengan insiden stroke pada penelitian Kohort terhadap 118.530 wanita
Kategori merokok
Jumlah kasus stroke
Jumlah orang-tahun pada pengamatan (8 tahun)
Insiden stroke (rate) per 100.000 orang/tahun
1.      Tidak pernah merokok
70
395.594
17.7
2.      Eks- perokok (pernah merokok)
65
232.712
27.9
3.      Perokok
139
280.141
49.6
Total
274
908.447
30.2
1)      Attribute Risk = 49,6-17,7 = 31,9 kasus per 100.000 penduduk
2)      Attribute Fraction =  x 100% = 64%
3)      Population Attribute Risk =
=
=
=  x 100%
= 53%
4)      Kesimpulannya adalah kurang lebih 53% dari semua kasus stroke di dalam masyarakat dapat dicegah bila perokok (eksposur) dihentikan seluruhnya





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ukuran dalam epidemiologi digunakan untuk mempermudah petugas kesehatan dalam mengolah data-data. Hasil dari pengolahan data-data dapat membantu dalam mengidentifikasi wabah, menghitung kebutuhan pelayanan kesehatan, masalah keterjangkauan, perubahan diagnosis, dan mengamati perubahan dalam pengobatan. Beberapa ukuran dalam epidemiologi yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masayarakat antara lain ukuran dasar epidemiologi, ukuran frekuensi epidemiologi, dan ukuran kekuatan hubungan dimana ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda.
B.     Saran
Hasil dari data yang telah diolah menggunakan ukuran dalam epidemiologi seharusnya digunakan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Petugas kesehatan bersama pemerintah sebaiknya juga mengevaluasi program kesehatan yang sudah berjalan dan merencanakan progam berkelanjutan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengambilan data yang akurat memerlukan kerjasama dari semua pihak baik masyarakat, petugas kesehatan, maupun pemerintah.









DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Eko, dan Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC.

Djaja, Sarimawar. 2012.”Transisi Epidemiologi di Indonesia dalam Dua Dekade Terakhir dan Implikasi Pemeliharaan Kesehatan menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga, Suskernas, Riskesdas (1986-2007)”.Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat. Nomor 142.

Hasmi. 2011. Dasar-Dasar Epidemiologi. Jakarta: Trans Info Media.

Lapau, Buchari. 2009. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Magnus, Manya. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Murti, Bhisma. 2013. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi: Edisi ke 3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Rajab, Wahyudin. 2009. Buku ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC

Ryadi, A.L. Slamet dan Wijayanti, T. 2014. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika

Saepudin, Malik. 2011. Prinsip-Prinsip Epidemiologi. Jakarta: Trans Info Media.

Smink, Frederique R.E, Daphne van Hoeken, dan Hans W. Hoek. 2012. “Epidemiology of Eating Disorders: Incidence, Prevalens and Mortality Rates. Springer Current Psychiatry. Nomor 14(4): 406-414.

Tazkiah, dkk. 2013. “Determinan Epidemiologi Kejadian BBLR pada Daerah Endemis Malaria di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan”. Epidemiological Determinants Low

1 komentar: