Selasa, 13 Maret 2018

Laporan Praktikum Sanitasi Makanan dan Lingkungan Acara 4 Pemeriksaan Formalin


ACARA 4
PEMERIKSAAN FORMALIN




Disusun Oleh :
NAMA                          : SITI ISTIKOMAH ISNAENI
NIM                               : I1A015043
KELAS                         : A
KELOMPOK               : 5
ROMBONGAN           : 1



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
2017




A. Latar Belakang
       Pembangunan manusia yang sehat dan cerdas tidak terlepas dari bahan makanan yang dikonsumsi. Makanan yang sehat dengan kandungan gizi yang lengkap serta aman merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi pada bahan pangan. Keamanan pangan ditentukan oleh ada tidaknya komponen yang berbahaya baik fisik, kimia, maupun mikrobiologi (Rinto dkk, 2009). Meningkatnya kebutuhan makanan di banyak negara termasuk di Indonesia adalah akibat peningkatan pembangunan manusia, perubahan keadaan sosio-ekonomi, peningkatan pengangguran, urbanisme dan turisme (Cahyadi, 2012). Monitoring mutu dan keamanan pangan yang diolah dan dihasilkan oleh industri informal sulit dilakukan dan sebagain besar pengetahuan produsen terhadap keamanan pangan yang masih rendah khususnya pada teknologi pengolahan pangan, sehingga masalah yang berkaitan dengan keamanan pangan banyak ditimbulkan oleh industri kecil (Effendi, 2012).
       Dalam teknologi pengolahan pangan, dikenal pula usaha untuk menjaga daya tahan suatu bahan sehingga banyak muncul bahan-bahan pengawet yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan. Namun dalam praktiknya di masyarakat, masih banyak yang belum memahami perbedaan bahan pengawet untuk bahan-bahan pangan dan non pangan. Menurut Cahyo (2006), penggunaan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan daging ayam potong salah satunya adalah formalin. Formalin adalah salah satu zat yang dilarang berada dalam bahan makanan. Formalin dapat bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Di dalam tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di hati dan sel darah merah. Pemakaian formalin pada makanan dapat mengakibatkan keracunan yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf atau kegagalan peredaran darah (Habibah, 2013).
       Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), formalin tidak termasuk dalam daftar BTP pada Codex Alimentarius sehingga penggunaan formalin termasuk yang dilarang dalam makanan. Ditambahkan oleh Hastuti (2012), bahwa formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan keracunan. Berdasarkan hasil penyelidikan BPOM RI, terdapat sekitar 20 produsen formalin yang menjual formalin ke pasar secara eceran dalam skala besar dan luas, dengan jumlah produksi tak kurang dari 800 ribu ton formalin setiap bulan. Salah satu produsen diidentifikasi sanggup memproduksi formalin 400 Mton per bulan. Sekitar 2.700 Mton dipergunakan sendiri, 300 Mton diekspor ke Malaysia, dan sisanya sekitar 1000 Mton dijual ke pasar setiap bulan, kepada konsumen perorangan, toko kimia, dan industri (Mahdi, 2008).
B.  Tujuan
Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan formalin pada sampel makanan berupa daging ayam potong.
C.  Tinjauan Pustaka
1.    Pengertian  Formalin
Formalin merupakan zat yang dilarang digunakan sebagai bahan pengawet makanan karena sangat berbahaya bagi tubuh, karena formalin merupakan senyawa toksik yang bersifat sebagai karsinogen (Imamah dkk, 2016). Formalin bersifat sangat reaktif, karena formalin memiliki gugus karbonil yang dapat dengan mudah bereaksi dengan gugus nukleofilik, yaitu gugus –NH2 dari sistem enzimatis, sehingga enzimatis dalam tubuh tidak berfungsi dan mengakibatkan terganggunya sistem sitokrom P450 atau proses fosforilasi oksidatif.
Cahyadi (2006), menyatakan bahwa formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin, terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin merupakan zat yang mengandung racun dan berbahaya apabila dikonsumsi terlalu banyak di dalam tubuh. Ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain apabila mengkonsumsi formalin jika kadarnya terlalu tinggi. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10-20 g atau lebih.
2.    Fungsi Formalin
Menurut Noriko dkk (2011), formalin sebenarnya digunakan sebagai:
a.    Desinfektan
b.    Pembersih toilet
c.    Pembasmi serangga
d.   Bahan pada pembuatan sutra buatan
e.    Bahan pengawet produk kosmetika
f.     Pengeras kuku
g.    Bahan untuk pengawet mayat dan serangga
3.    Dampak Negatif dari Formalin
Penggunaan formalin sebagai pengawet makanan sangat berbahaya bagi tubuh, karena formalin merupakan senyawa toksik yang bersifat karsinogenik (Quievryn dan Zhitkovich, 2000). Pengaruh negatif yang sering terjadi akibat kontaminasi formalin dalam jangka pendek adalah terjadinya iritasi saluran pernafasan, saluran pencernaan, pusing dan mual, sedangkan akibat kontaminasi formalin jangka panjang, antara lain adalah terjadinya kerusakan pada tingkat sel dan jaringan hepar (Katzung, 2002). Konsumsi formalin dapat menyebabkan kerusakan hati, kerusakan DNA aktivasi cascade caspase melalui jalur mitokondria  yang memicu apoptosis dan berbagai mekanisme destruktif lainnya (Speit and Merk, 2002).
Formalin adalah zat yang bersifat toksik jika dikonsumsi berlebihan atau dengan kadar di atas batas dimana tubuh masih mampu menetralkan, dan jika zat tersebut dikonsumsi dalam kadar sedikit namun terus menerus dalam jangka waktu lama maka akan terakumulasi dan menyebabkan dampak negatif pada organ yang bekerja sebagai penetral racun dalam tubuh (Mahdi dkk, 2008). Organ sasaran zat yang bersifat toksik adalah hepar dan ginjal karena dalam referensi-referensi toksikologi yang pada umumnya organ-organ tersebut yang menjadi sasaran pengamatan efek toksik karena hepar dan ginjal merupakan organ penyimpan racun yang potensial. Hepar dan ginjal merupakan gudang penyimpan racun karena keduanya memiliki kapasitas tinggi untuk mengikat zat kimia. Hal ini berhubungan dengan hepar sebagai tempat metabolisme dan ginjal sebagai ekskresi racun dalam tubuh (Creagh et all, 2005).
Menurut Nariko dkk (2011), beberapa pengaruh formalin terhadap kesehatan adalah sebagai berikut:
a.    Jika terhirup akan menyebabkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, dan dapat menyebabkan kanker paru-paru.
b.    Jika terkena kulit akan menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan kulit terbakar.
c.    Jika terkena mata akan menyebabkan mata memerah, gatal, berair, kerusakan mata, pandangan kabur, bahkan kebutaan.
d. Jika tertelan akan menyebabkan mual, muntah-muntah, perut terasa perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, bahkan koma dan kematian.
4.    Ciri-Ciri Makanan yang Mengandung Formalin
Menurut Suheini (2007), terdapat beberapa ciri-ciri penggunaan formalin pada makanan:
a.    Mie basah
1)   Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar (250 Celcius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es 100 Celcius.
2)   Bau menyengat dan berbau formalin.
b.    Tahu
1)   Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar 250 Celcius dan tahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es 100 Celcius.
2)   Tahu keras, namun tidak terlalu padat.
c.    Bakso
1)   Tidak rusak sampai lima hari pada suhu kamar 250 Celcius.
2)   Teksturnya sangat kenyal.
d.   Daging ayam potong
1)   Warna daging potong cenderung berwarna lebih pucat.
2)   Lebih tahan lama.
D.  Metode
1.    Alat
a)    Pipet tetes
b)   Tabung reaksi
c)    Rak tabung reaksi
d)   Gelas ukur
e)    Pengaduk
f)    Pisau
g)   Talenan
h)   Timbangan
2.    Bahan
1)   Sampel berupa  daging ayam potong
2)   Air panas
3)   Formaldehyde Test Kit

3.    Prosedur Kerja
Siapkan alat dan bahan
Tambahkan 1 tetes pereaksi 1 ke larutan sampel
Biarkan ± 5 menit, jika sampel berubah warna menjadi ungu kebiruan maka sampel mengandung formalin
Kocok dengan hati-hati
Tambahkan 3 tetes pereaksi 2 ke larutan sampel
Cincang sampel (daging ayam) hingga halus
Timbang sampel sekitar 1 gr, tambahkan air panas 2-3ml pada tabung reaski

 

E.  Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil yang di dapatkan dari pemeriksaan dengan metode Formaldehyde Test Kit yaitu tidak terjadi perubahan warna ungu kebiruan. Artinya, sampel makanan yaitu ayam potong tidak  mengandung formalin.
Tabel 4.1. Hasil uji Formaldehyde Test Kit pada sampel ayam potong
 Sampel
Reaksi Warna
Hasil
Ayam potong
Tidak terjadi perubahan warna ungu kebiruan
Negatif
F.   Pembahasan
       Dari hasil pemeriksaan formalin pada sampel makanan berupa daging ayam potong menggunakan metode Formaldehyde Test Kit,  diperoleh hasil negatif. Interpretasi ini ditunjukkan dengan tidak terjadinya perubahan warna pada larutan yang mengandung sampel menjadi warna ungu kebiruan, sehingga sampel ayam potong aman untuk dikonsumsi. Daging ayam potong yang mengandung formalin biasanya memiliki ciri-ciri antara lain tidak terlihat segar, daging berwana pucat, dan bertahan berhari-hari atau lebih awet. Jika mengonsumsi formalin dalam jangka pendek dapat terlihat efek  seperti tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah, diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi, kejang, tidak sadar hingga terjadi koma sesuai dengan besar dosis formalin yang dikonsumsi. Selain itu, bisa terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat, dan ginjal (Cahyadi, 2012).
G. Kesimpulan
Dari praktikum acara kali ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel kelompok kami yang berupa daging ayam potong, tidak mengandung formalin. Hal ini dibuktikan dengan uji Formaldehyde Test Kit dengan hasil tidak terjadi perubahan warna menjadi ungu kebiruan. Daging ayam potong yang dijadikan sampel tidak memeliki ciri-ciri daging yang mengandung formalin.

DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan: Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Cahyadi, W. 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Cahyo, Suparinto. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Penerbit Kanesius.
Creagh, E, Adrain, Martin S. J. 2005. Caspase Detection and Analysis. Oxford: BIOS Scientific Publishers Ltd.
Effendi, S. 2012. Teknologi dan Pengawetan Pangan. Bandung: CV Alfabeta.
Guiveryn, G, Zhitkovich A. 2000. Loss of DNA Protein Crosslink from Formaldehyde Exposed Cells Occurs Through Spontaneous Hydrolysis and An Active Repair Process Linked to Proteosome Function. Carcinogenesis. Vol. 21(8): 1573-1580.
Habibah. 2013. Identifikasi Penggunaan Formalin pada Ikan Asin daN Faktor Perilaku Penjual di Pasar Tradisional Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Unnes. Volume 1(2): 983-994.
 Hastuti, S. 2012. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid pada Ikan Asin di Madura. Jurnal Agrotek. Vol. 4(2): 1-3.
Imamah, Egi Qory. Umie Lestari, Abdul Gofur. 2016. Pengembangan Booklet dari Penelitian Pengaruh Tahu Berformalin terhadap Histopatologi Hati Mencit Jantan Galur untuk Masyarakat Kota Kediri. Jurnal Pendidikan Biologi. Vol. 2(2): 102-108.

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
 Mahdi, C, Aulaniam, Sumarno, Widodo. 2008. Suplementasi Yoghurt pada Tikus (Rattus novergicus) yang Terpapar Formaldehyde dalam Makanan terhadap Aktivitas Antioksidan, Kerusakan Oksidatif Jaringan Hepar. Jurnal Agrotek. Vol. 4(3): 5-7.
 Noriko, Nita, Ekaristi Pratiwi, Angelina Yulita, Dewi Elfidasari. 2011. Studi Kasus terhadap Zat Pewarna, Pemanis Buatan, dan Formalin pada Jajanan Anak SDN Telaga Murni 03 dan Tambun 04 Kabupaten Bekasi. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. Vol 1(2): 47-53.
 Rinto, Elmeizi, Susila Budi Utama. 2009. Kajian Keamanan Pangan (Formalin, Garam, dan Mikrobia) pada Ikan Sepat Asin Produksi Indralaya. Jurnal Pembangunan Manusia. Vol 8(2): 11-20.
 Saparinto dan Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Speit, G, Merk O. 2002. Evaluation of Mutagenic Effects of Formaldehyde In Vitro: Detection of Crosslinks and Mutations in Mouse Lymphoma Cells. Mutagenesis. Vol 17(3): 183-187.
LAMPIRAN

Dokumentasi
Deskripsi


Sampel daging ayam yang telah dihaluskan yang siap untuk diperiksa mengandung formalin


Sampel ayam yang diperiksa tidak mengandung formalin

Laporan Praktikum Sanitasi Lingkungan dan Makanan Acara 3 Pemeriksaan Boraks


ACARA 3
PEMERIKSAAN BORAKS




Disusun Oleh :
NAMA                          : SITI ISTIKOMAH ISNAENI
NIM                               : I1A015043
KELAS                         : A
KELOMPOK               : 5
ROMBONGAN           : 1



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
2017


    
A.  Latar Belakang
       Teknologi pengolahan pangan di Indonesia sekarang berkembang pesat, diiringi dengan penggunaan BTP yang semakin meningkat. Berkembangnya produk pengawet, terjadi karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap berbagai jenis makanan yang praktis dan bertahan lama. Kesalahan dalam pemanfaatan teknologi dan penggunaan BTP baik sengaja maupun tidak sengaja dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan atau keamanan konsumen (Anggrahini, 2008).
       Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terpenting dan juga merupakan faktor yang sangat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan. Keamanan pangan merupakan masalah yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam penyelenggaraan upaya kesehatan secara keseluruhan. Salah satu masalah keamanan makanan di Indonesia adalah masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggungjawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan makanan, terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga (Amelia dkk, 2014). Salah satu masalah pangan yang masih memerlukan pemecahan masalah yaitu penggunaan BTP. Peranan Bahan Tambahan Pangan (BTP) khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi BTP sintetis. Banyaknya BTP dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian BTP. Hal ini berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu (Cahyadi, 2008).
       Menurut Simpus (2005) menyebutkan bahwa boraks adalah sebagai salah satu BTP. Boraks ini dinyatakan dapat menganggu kesehatan bila digunakan dalam makanan. Efek negatif yang dapat ditimbulkan dapat berjalan lama meskipun yang digunakan dalam jumlah sedikit. Efek yang diakibatkan berupa gangguan pada susunan syaraf pusat, ginjal, dan hati. Ginjal merupakan organ paling mengalami kerusakan dibandingkan dengan organ lain. Dosis fatal untuk orang dewasa sebesar 15-20 gram dan untuk anak-anak sebesar 3-6 gram. Produsen makanan banyak menambahkan boraks ke dalam produknya, salah satunya adalah penambahan boraks ke dalam bubur.
B.  Tujuan
Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada sampel makanan berupa bubur.
C.  Tinjauan Pustaka
1.    Pengertian Boraks
Boraks merupakan senyawa kimia dengan nama Natrium tetraborat dan berbentuk kristal lunak. Meskipun asam borat dan boraks keduanya mengandung boron, namun keduanya adalah senyawa dengan molekul yang berbeda. Keduanya merupakan senyawa yang beracun jika tertelan. Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai menjadi Natrium hidroksida serta asam borat. Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik, dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata.  Secara lokal boraks dikenal sebagai bleng (berbentuk larutan atau padatan/kristal) dan ternyata digunakan sebagai pengawet misalnya pada pembuatan mie basah, lontong, dan bakso (Fardiaz, 2007).
Menurut peraturan Menteri kesehatan RI No.722/Menkes/ IX/1988, asam borat dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan.  Karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen.  Meskipun boraks berbahaya bagi kesehatan ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan makanan, karena selain berfungsi sebagia pengawet, boraks juga dapat memperbaiki tekstur hingga lebih kenyal dan lebih disukai konsumen (Aminah, 2009).
Menurut Riandini (2008), karakteristik boraks antara lain:
a.    Warna adalah jelas bersih
b.    Kilau seperti kaca
c.    Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya
d.   Sistem hablur adalah monoklin
e.    Perpecahan sempurna di satu arah
f.     Warna lapisan putih
g.    Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite, colemanite, ulexite dan garam asam bor yang lain.
h.    Karakteristik yang lain yaitu suatu rasa manis yang bersifat alkali.
2.    Dampak Negatif dari Penggunaan Borak
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit-demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit. Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria (Triastuti dkk, 2013).
Boraks dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen atau bersifat akumulasi (penumpukan). Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar). Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian. Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan demam, anuria, koma, depresi, dan apatis (gangguan yang bersifat sarafi). Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10-20 g atau lebih (Rohman, 2007).
3.    Fungsi dari Boraks
Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih atau pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu. Asam borat dan boraks telah lama digunakan sebagai aditif dalam berbagai makanan. Sejak asam borat dan boraks diketahui efektif terhadap ragi, jamur dan bakteri, sejak saat itu mulai digunakan untuk mengawetkan produk makanan (Aminah dan Himawan, 2009).
4.    Ciri-ciri makanan yang mengandung boraks
Menurut Putri (2011), untuk mengetahui makanan yang mengandung boraks ciri-cirinya sebagai berikut:
a.    Mi basah:
Teksturnya kental, lebih mengkilat, tidak lengket, dan tidak cepat putus.
b.    Bakso
Teksturnya sangat kental, warna tidak kecoklatan seperti penggunaan daging, tetapi lebih cenderung keputihan.
c.    Lontong dan bubur
Teksturnya sangat kenyal, berasa tajam, sangat gurih, dan memberikan rasa getir.
d.   Kerupuk
Teksturnya renyah dan bisa menimbulkan rasa getir.
 D.  Metode
1.    Alat
a.       Pipet ukur
b.      Tensball
c.       Cawan porselin dan penggerus
d.      Tabung reaksi
e.       Gelas kimia
f.       Timbangan
g.      Pengaduk
2.    Bahan
a.       Bubur
b.      Air panas
c.       Boraks Test Kit
3.    Prosedur Kerja
Siapkan alat dan bahan
Haluskan sampel dengan cawan dan penggerus
Timbang bubur 1 gr dan tambahkan dengan air panas 2-3 ml di gelas ukur, aduk.
Tambahkan 10-20 tetes pereaksi I Boraks, kocok
Diamkan selama 10 menit
Celupkan ujung pereaksi II  (kertas curcuma) ke tabung reaksi
Anginkan-anginkan selama ± 10 menit                                                                                                        
Jika kertas curcuma tidak berubah warna menjadi merah maka sampel tidak mengandung boraks
 
E.  Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil yang didapatkan dari pemeriksaan dengan metode Boraks Test Kit yaitu tidak terjadi perubahan warna merah pada kertas curcuma. Artinya, sampel makanan yaitu bubur tidak  mengandung boraks.
Tabel 4.1. Hasil uji Boraks Test Kit pada sampel bubur
 Sampel
Reaksi Warna
Hasil
Bubur
Tidak terjadi perubahan warna menjadi merah
Negatif
F.   Pembahasan
Dari hasil praktikum pemeriksaan boraks pada sampel makanan diperoleh hasil negatif, hal ini ditunjukkan tidak berubahnya warna kertas curcuma dari yang semula berwarna kuning setelah dicelupkan ke dalam larutan yang mengandung sampel makanan berupa bubur tidak terjadi perubahan warna menjadi warna merah. Boraks merupakan suatu kristal lunak yang mengandung unsur boron, boraks memiliki nama kimia natrium tetrabonat (Na2B4O7 10 H2O), boraks dalam air berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat (Aminah, 2009). Dalam penambahan bahan berbahaya ini bertujuan untuk membuat bubur lebih kenyal dan lebih tahan lama (Kresnadipayana dan Dwi, 2016).
Penambahan boraks dalam makanan yang dijualbelikan baik oleh masyarakat ataupun industri karena berorientasi ekonomis. Orientasi ini berupa target pencapaian keuntungan usaha dengan memberikan kepuasan konsumen melalui berbagai cara walaupun menggunakan bahan berbahaya sekalipun. Kondisi lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap munculnya kasus penambahan boraks pada makanan seperti bubur. Pengawasan oleh instansi berwenang yang lemah juga memiliki peran yang penting bagi munculnya kasus-kasus kandungan boraks pada bubur yang diproduksi atau diperdagangkan oleh masyarakat (Handoko, 2010).
G. Kesimpulan
      Dari praktikum acara kali ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel kelompok kami yang berupa bubur, tidak mengandung boraks. Hal ini dibuktikan dengan uji Boraks Test Kit dengan hasil kertas curcuma yang tidak berwarna merah. Bubur yang digunakan sebagai sampel tidak memiliki ciri-ciri bubur yang mengandung boraks.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, dkk. 2014. Identifikasi dan Penentuan Kadar Boraks dalam Lontong yang Dijual di Pasar Raya Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 3(3): 459- 461.
Aminah dan Himawan. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Bandung: Salamadani.
Aminah. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anggrahini. Sri. 2008. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Fardiaz, S. 2007. Uji Kandungan Formalin, Boraks, dan Pewarna Rhodamin B pada Produk Perikanan dengan Metode Spot Test. Berkala Ilmiah Perikanan. Volume 3(2): 28-43.

Handoko, J, Anita S, Jose C. 2010. Aspek Lingkungan Sosial dan Potensi Munculnya Perilaku Penambahan Boraks dalam Produksi Makanan di Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol 2(4): 128-138.
 Kresnadipayana, Dian, Dwi Lestari. 2016. Penentuan Kadar Boraks pada Kurma dengan Metode Spektrofometri UV-VIS. Jurnal Wiyata. Vol. 4(1): 23-30.
 Putri, P. 2011. Identifikasi Boraks dalam Makanan. Semarang: Politeknik Kesehatan Press.
Riandini, N. 2008. Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman. Bandung: Shakti Adiluhung.
 Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Penerbit Pustaka Pelajar.: Yogyakarta.

Simpus. 2005. Bahaya Boraks: Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Intisari Pustaka Utama.
 Triastuti, E, Fatimawali, Max Revolta John Runtuwene. 2013. Analisis Boraks pada Tahu yang diproduksi di Kota Medan. Farmasi. Vol. 2(1): 69-74.


LAMPIRAN
Dokumentasi
Deskripsi

Dilakukannya penelitian boraks pada sampel bubur

Hasil penelitian kandungan boraks pada kertas curcuma tidak mengubah warna, sehingga hasil pemeriksaan negatif

Setelah selesai praktikum, alat yang digunakan dibersihkan kembali